Ramadan Pertama di Canberra
“Dialah
yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di
segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya
kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (Q. S. Al-Mulk (67): 15)
Ramadan adalah bulan yang istimewa bagi
umat Muslim di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Banyaknya kegiatan
ruhani, kajian dan tarawih di masjid, berkumpul dengan keluarga, silaturahmi
dengan tetangga, teman kerja, banyaknya penjual takjil di pinggir jalan, acara
buka bersama dan lain sebagainya. Namun pada tahun 2018 ini saya tidak bisa
merasakan semaraknya Ramadan seperti tahun-tahun sebelumnya. Akhir tahun 2017
lalu, saya menerima kabar yang menggembirakan. Setelah bermimpi selama 10 tahun
lebih, mempersiapkan segala persyaratan beasiswa, mencoba mengumpulkan
kepercayaan diri, mengirimkan aplikasi beasiswa di antara segala tugas saya
sebagai istri dan ibu dan setelah menerima kabar kegagalan di tahun 2016,
Alhamdulillah bulan Oktober 2017 saya menerima kabar bahwa saya lulus beasiswa.
Saya diijinkan Allah untuk menimba ilmu di Australia. Namun rupanya berita
kelulusan ini tidak selamanya terdengar menyenangkan. Dua minggu setelah
menerima kabar tersebut, saya harus mempersiapkan segala sesuatu untuk
kepindahan saya dan anak-anak. Belum lagi mempersiapkan psikologis suami saya.
Segala sesuatu harus diputuskan dan dipersiapkan dengan cepat karena Maret 2018
saya sudah harus berada di Canberra.
“Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa
sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit maka diaturnya menjadi
sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkanNya dengan air itu
tanaman-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu
melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikannya hancur berderai-derai.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal.” (Az-Zumar : 21)
Pertama kali menginjakkan kaki di Canberra
pada tanggal 22 Maret 2018. Kami terkagum-kagum dengan kebersihan kota ini,
sekaligus juga harus beradaptasi secara fisik, yaitu dengan temperatur yang
jauh berbeda dengan Surabaya. Saat itu masih musim gugur, suhu Canberra
berkisar 16-19 derajat celcius. Sangat jauh berbeda dengan suhu Surabaya yang
berkisar 28-33 derajat celcius. Meski di ruangan dengan AC, saya jarang sekali
memasang suhu terendah, biasanya hanya 22-23 derajat saja. Segala macam alergi
saya mulai kambuh dengan suhu dingin Canberra. Anak-anak dan suami flu di hari
ke lima. Dengan iklim yang dingin dan kering, kulit saya juga begitu kering
hingga mengalami eczema.
Selain suhu, adaptasi besar yang harus saya
lakukan adalah penggunaan transportasi publik. Di Canberra, saat ini alat
transportasi publik terbesar adalah bus. Semua penduduk Canberra didorong untuk
menggunakan alat transportasi publik, dibandingkan mobil pribadi. Hal ini
terlihat dari kebijakan pemerintah yang memberikan peraturan parkir yang ketat
(sebagian besar parkir memiliki batas waktu maksimal parkir, misalnya 1 jam, 2
jam, dan maksimal 4 jam), tarif parkir yang mahal (semakin lama parkir, semakin
mahal) dan khususnya parkir di area kampus sangatlah sulit karena terbatasnya
lahan parkir. Transportasi menggunakan bus sangat nyaman untuk kami, namun
tantangannya adalah kami harus berjalan menuju halte bus terdekat dan jadwal
bus yang tepat waktu. Sehingga kalau saya terlambat 2 menit saja, sudah bisa
dipastikan saya akan ketinggalan bus dan harus menunggu 20 menit untuk jadwal
berikutnya. Ini juga tantangan karena saya harus bertahan menunggu di halte bus
dengan suhu dingin dan terkadang angin yang cukup kencang. Mayoritas penduduk
Canberra didorong untuk melakukan kegiatan fisik, itu juga sebabnya semua
kegiatan dari gedung ke gedung kebanyakan harus berjalan kaki, karena tidak
mungkin menggunakan mobil (karena susahnya mencari parkir mobil) ataupun bus
(karena rute bus tidak terlalu banyak antar gedung). Rata-rata sehari saya
harus berjalan kaki sekitar 1,5-2 kilometer, jarak yang sangat jarang saya
tempuh dengan berjalan kaki selama di Surabaya.
Pada bulan ke dua kami memasuki bulan Ramadan.
Tantangan terbesar kami memang suhu Canberra. Bulan April-Mei merupakan musim
gugur, namun suhu sudah mencapai 6-8 derajat celcius. Jujur saja, saya merasa
sedih dan tidak terlalu antusias dengan Ramadan kali ini, karena saya
membayangkan betapa dinginnya untuk sahur atau betapa beratnya menjaga suhu
tubuh tetap hangat dalam kondisi puasa. Saya juga tidak tahu bagaimana suasana
tarawih di sini, bisa saja sepi dan tidak semeriah di Indonesia, dan
sebagainya. Meski di sisi lain, durasi puasa di Canberra lebih pendek dibanding
di Indonesia, yaitu subuh pukul 5.30 dan maghrib pukul 17.
“Allah-lah yang menjadikan bumi untukmu
sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentukmu, lalu
memperindah rupamu, serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Demikianlah
Allah, Tuhanmu, Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam” (Q. S. Gaafir (40): 64)
Ternyata perkiraan saya salah. Saya mampu
berpuasa penuh, saya mampu menjaga suhu tubuh saya tanpa makan selama berpuasa.
Saya mampu beraktivitas seperti biasa, saya mampu berjalan 1,5-2km per hari.
Waktu kerja selama bulan Ramadan tidak berbeda dengan hari lainnya, yaitu jam
9-17. Hanya saja saya sudah menyampaikan jika saya akan pulang lebih cepat
yaitu jam 16 setiap harinya untuk mempersiapkan buka puasa (iftaar). Suatu
ketika saya mendapat email jika staf IT akan menginstal software pada laptop
saya sekitar jam 16. Saya menyatakan bahwa saya harus pulang lebih cepat,
mereka pahami dan mengganti keesokan harinya.
Tidak seperti di Indonesia, dimana orang
akan menghormati orang yang sedang berpuasa, dengan cara makan di tempat
tertutup, banyak warung dan restoran yang tutup saat siang hari, sehingga tidak
mudah melihat orang makan di tempat umum saat Ramadan. Di Canberra, tidak ada
perbedaan di kehidupan kampus. Semua orang makan siang seperti biasa, membawa
snack dan mengadakan morning tea
setiap Rabu pagi. Namun demikian, dengan kondisi seperti inilah saya merasakan
puasa yang sebenarnya, dimana kita benar-benar bergantung pada keyakinan kita
untuk tetap berpuasa di tengah orang yang tidak berpuasa. Mereka tidak akan
peduli jika kita ikut makan, atau diam-diam makan. Di kondisi seperti inilah
kita diuji atas keyakinan kita.
Suatu ketika saat meeting dengan supervisor saya, Jane dan Julie, saya membawakan
mereka salah satu makanan ringanIndonesia, yaitu kripik tempe. Mereka
menanyakan apakah boleh mereka makan saat itu juga, dan menawari saya untuk
makan juga. Saya persilakan mereka makan dan saya jelaskan kalau saya sedang
berpuasa. Jane tidak asing dengan konsep puasa, namun dia masih heran dengan
konsep puasa dari subuh hingga maghrib. Dia bertanya apakah saya kuat tidak
makan sejak pagi hingga malam hari.
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Q. S.
Ar-Rum (30): 22)
Meski merasakan tantangan yang belum pernah
saya rasakan selama berpuasa di Indonesia, saya juga mendapatkan banyak
pengalaman berharga selama berpuasa di Canberra. Pada satu hari di bulan Ramadan,
ada sebuah workshop yang saya ikuti. Peserta workshop dari berbagai school yang ada di universitas saya. Pada
workshop yang memang diperuntukkan untuk mahasiswa postgraduate baru ini, saya duduk satu meja dengan seorang
perempuan India. Setelah masuk break makan siang, saya tetap berada di meja
karena sedang puasa. Ternyata teman baru saya ini juga seorang muslim dan juga
sedang puasa, meski dia mengenakan pakaian kasual biasa dan tanpa mengenakan
jilbab. Kami bertukar nomor kontak dan masih berhubungan hingga sekarang.
Kejadian menarik lainnya adalah saat saya
berpapasan dengan muslimah dari negara lain. Hari Sabtu dan Minggu biasanya
saya mengajak anak-anak untuk mengunjungi tempat-tempat umum untuk mengisi
waktu luang, seperti National Gallery of Australia, National Library of
Australia, National Portrait Gallery, National Museum of Australia dan
sebagainya. Seringkali jika saya berpapasan dengan muslimah dari negara lain,
mereka akan mengucapkan salam. Ini yang jarang saya rasakan saat berada di
Indonesia karena saya hanya mengucapkan atau menerima salam dari orang yang
sudah saya kenal saja. Dengan menggunakan jilbab di Australia, ini semacam
penanda bahwa saya muslimah dan kami merasa disatukan olehnya.
Salah satu event di National Museum of
Australia di bulan Ramadan lalu adalah adanya pameran mengenai agama dan budaya
Islam. Saya sempat mengunjunginya dan saya terharu karena banyak pengunjung
merupakan orang asli Australia dan tidak mengenakan jilbab, sehingga asumsi
saya, mereka adalah non muslim.
Pengalaman menarik lainnya adalah saat saya
bertemu dengan salah satu sukarelawan konselor menyusui di Australian Breastfeeding
Association (ABA), bernama Jessica. Sesuai dengan topik riset, latar belakang
pekerjaan dan pengalaman saya selama di Indonesia, saya ikut terlibat dalam
organisasi ini. Acara pertama yang saya
hadiri kebetulan dilaksanakan di bulan Ramadan. Pertama kali berkenalan dia
sangat antusias begitu tahu saya dari Indonesia, seorang muslim dan saat itu
sedang menjalani puasa. Dia menunjukkan konten brosur yang sedang dikerjakan
mengenai menyusui selagi berpuasa. Rupanya semakin banyak umat muslim di
Canberra, sehingga semakin banyak yang berkonsultasi ke ABA mengenai hal ini.
Jessica langsung meminta bantuan saya untuk melengkapi materi tentang ini.
Pengalaman malam Ramadan juga menarik,
meski tidak bisa mengalahkan meriahnya pelaksanaan ibadah malam saat Ramadan di
Indonesia. Masjid di Canberra tidak banyak, salah satunya berada di dekat rumah
kami berjarak sekitar 4km yaitu masjid Yarralumla. Sebagai informasi, 4km di
Canberra dapat ditempuh dalam waktu 4 menit saja. Setiap malam ada tarawih yang
dilaksanakan di mushalla kampus (berjarak 7km dari rumah) dan masjid Yarralumla.
Mushalla kampus tidak digunakan untuk muslim Indonesia saja, tapi juga muslim
dari negara lain seperti Malaysia, Bangladesh, Brunai Darusalam dan sebagainya.
Saat tarawih pun saya jadi mempunyai pengetahuan baru, salah satunya bahwa
perempuan muslim dari negara lain tidak mengenakan mukena saat salat. Dengan
jadwal tertentu, kami juga menggunakan mushalla kampus untuk kegiatan buka
bersama,bergantian dengan muslim dari negara lain. Organisasi mahasiswa di
universitas saya juga mengadakan acara buka bersama meski mayoritas anggotanya
adalah non muslim. Mereka antusias ikut merayakan iftaar di mushalla kampus.
Kebetulan juga rumah kami dekat dengan KBRI.
Setiap hari Sabtu diadakan buka bersama, salat maghrib dan tarawih berjamaah di
KBRI. Sehingga kami memutuskan setiap hari Minggu sampai Senin kami salat
tarawih di mushalla kampus dan setiap sabtu malam, kami buka bersama dengan
makanan Indonesia yang lezat dari KBRI dilanjutkan dengan salat Maghrib dan
tarawih berjamaah. MasyaAllah…Tidak terasa 30 hari sudah kami menjalani puasa Ramadan.
Idulfitri tiba. Pengumuman jatuhnya hari Idulfitri tidak dilakukan oleh
pemerintah, melainkan oleh Australian
National Imams Council. Malam takbiran hanya dilakukan di KBRI. Tidak
seperti di Indonesia, malam takbiran hanya dilaksanakan di dalam ruangan salah
satu gedung KBRI. Bagaimana perasaan saya? Antara senang dan terharu. Rasanya
bersyukur masih bisa mengikuti takbiran dan puasa tanpa ada kendala berarti di
Canberra. Di sisi lain, saya jadi tersadar bahwa selama ini saya tidak
bersyukur menikmati takbiran dengan meriah di Indonesia. I took it for granted.
Idulfitri jatuh pada hari Jumat. Tidak ada
libur nasional untuk perayaan ini. Bahkan ada beberapa teman saya masih masuk
kerja atau kuliah setelah melaksanakan salat Ied. Seharusnya saya dan anak
pertama saya, Ayra, masih masuk sekolah. Beberapa hari sebelumnya, saya telah
mengirimkan surat ijin pada guru Ayra jika pada hari itu Ayra tidak akan masuk
sekolah untuk merayakan Idulfitri. Salat
Idulfitri diadakan di semua masjid di Canberra dan juga di KBRI. Kami memilih salat
Ied di KBRI karena dengan demikian kami bisa langsung berkumpul dengan
orang-orang Indonesia. Salat Ied dimulai pukul 8 dan takbir dimulai pukul 7
pagi.
Setelah salat Ied, kami mendatangi rumah
Duta Besar Indonesia untuk Australia yang mengadakan open house. Acara ini terbuka untuk umum, baik masyarakat Indonesia
yang tinggal di Australia maupun warga negara Australia (dan tentunya Duta
Besar negara lain) yang tertarik dengan perayaan Idulfitri. Disediakan berbagai
macam menu makanan Indonesia. Saat itu ruangan tengah telah dipenuhi oleh tamu
penting, maka kami menikmati menu makanan di taman belakang. Sudah disiapkan
banyak kursi dan meja serta tidak lupa outdoor
heater. Memang suhu mencapai 8
derajat celcius, 5 menit saja makanan kami sudah menjadi dingin. Kami harus
segera menghabiskannya dengan cepat. Meski demikian, anak-anak asyik bermain, tidak
terlihat kedinginan. Mereka asyik berlarian bermain bersama teman-temannya.Selain
open house pada siang harinya, malam
harinya kami berkunjung ke rumah salah satu senior PhD Indonesia yang juga
sahabat saya. Beberapa teman juga ikut datang dan berkumpul bersama. Seminggu
kemudian kami juga menghadiri acara silaturahmi komunitas Indonesia di
Canberra. Komunitas ini tidak hanya mahasiswa saja dan tidak hanya muslim saja,
namun juga masyarakat Indonesia yang telah menjadi permanent resident maupun yang non muslim.
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q. S. Al-Hujurat (49): 13).
Dalam masa yang cukup pendek hingga tulisan
ini dibuat, saya mendapatkan begitu banyak pengalaman berharga sebagai seorang
istri, ibu dan muslimah di negara mayoritas non muslim ini. Saya juga merasakan persaudaraan muslim yang
kuat di sini. Mayoritas penduduk Australia menghormati aktivitas keagamaan yang
kami jalani. Dengan segala keterbatasan
dan tantangan yang berbeda dari di Indonesia, saya percaya Allah sedang
mengajarkan kami sesuatu.